Kepemimpinan itu wajib
ada, baik secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya
tersirat dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat :)) واجعلنا للمتقين إماما )) “Dan jadikanlah
kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS
Al-Furqan : 74]. Demikian
pula firman Allah أطيعوا الله و أطيعوا
الرسول و أولي الأمر منكم
)) )) “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada
Rasul dan para ulul amri diantara kalian” [QS
An-Nisaa’ : 59]. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat
terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan
ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan
wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang
melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa
kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.
Kriteria Seorang Pemimpin
Karena seorang pemimpin merupakan khalifah (pengganti) Allah di
muka bumi, maka dia harus bisa berfungsi sebagai kepanjangan tangan-Nya.
Allah merupakan Rabb semesta alam, yang berarti dzat yang men-tarbiyah
seluruh alam. Tarbiyah berarti menumbuhkembangkan menuju kepada kondisi yang
lebih baik sekaligus memelihara yang sudah baik. Karena Allah men-tarbiyah
seluruh alam, maka seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah
Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin
harus bisa menjadi murabbiy bagi
kehidupan di bumi.
Karena
tarbiyah adalah pemeliharaan dan peningkatan, maka murabbiy (yang men-tarbiyah) harus benar-benar
memahami hakikat dari segala sesuatu yang menjadi obyek tarbiyah (mutarabbiy, yakni alam).
Pemahaman terhadap hakikat alam ini tidak lain adalah ilmu dan hikmah yang
berasal dari Allah. Pemahaman terhadap hakikat alam sebetulnya merupakan
pemahaman (ma’rifat)
terhadap Allah, karena Allah tidak bisa dipahami melalui dzat-Nya dan hanya
bisa dipahami melalui ayat-ayat-Nya. Kesimpulannya, seorang pemimpin haruslah
seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai
apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan
ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).
Bekal
pemahaman (ilmu dan hikmah) bagi seorang pemimpin merupakan bekal paling
esensial yang mesti ada. Bekal ini bersifat soft, yang
karenanya membutuhkan hardware agar bisa berdaya. Ibn Taimiyyah
menyebut hardware ini sebagai al-quwwat, yang bentuknya bisa beragam sesuai
dengan kebutuhan. Dari sini bisa disimpulkan bahwa seorang pemimpin harus
memiliki dua kriteria: al-‘ilm dan al-quwwat.
Yang
dimaksud dengan al-‘ilm (ilmu) tidaklah hanya terbatas pada al-tsaqafah (wawasan). Wawasan hanyalah sarana
menuju ilmu. Ilmu pada dasarnya adalah rasa takut kepada Allah. Karena itulah
Allah berfirman,”Yang
takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Faathir:
28). Ibnu Mas’ud pun
mengatakan,”Bukanlah ilmu
itu dengan banyaknya riwayat, akan tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah”. Namun bagaimana rasa takut itu bisa
muncul ? Tentu saja rasa itu muncul sesudah
mengenal-Nya, mengenal keperkasaan-Nya, mengenal kepedihan siksa-Nya. Jadi ilmu
itu tidak lain adalah ma’rifatkepada Allah.
Dengan mengenal Allah, akan muncul integritas pribadi (al-‘adalat wa al-amanat)
pada diri seseorang, yang biasa pula diistilahkan sebagai taqwa. Dari sini, dua
kriteria pemimpin diatas bisa pula dibahasakan sebagai al-‘adalat
wa al-amanat (integritas
pribadi) dan al-quwwat.
Selanjutnya,
marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS.
Al-Baqarah: 247), Nabi
Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’:
79, QS Al-Naml: 15).
Raja
Thalut:
“Sesungguhnya
Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik
(basthat fi al-‘ilm wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi
Yusuf:
“Dan
ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukm dan ‘ilm” (QS.
Yusuf: 22).
Nabi
Dawud dan Sulaiman:
“Maka
Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada
Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukm dan ‘ilm” (QS.
Al-Anbiya’: 79).
“Dan
sungguh Kami telah memberikan ‘ilm kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml:
15).
Thalut
merupakan seorang raja yang shalih. Allah telah memberikan kepadanya kelebihan
ilmu dan fisik. Kelebihan ilmu disini merupakan kriteria pertama (al-‘ilm), sementara
kelebihan fisik merupakan kriteria kedua (al-quwwat). Al-quwwat disini berwujud kekuatan fisik karena
wujud itulah yang paling dibutuhkan saat itu, karena latar yang ada adalah
latar perang.
Yusuf,
Dawud, dan Sulaiman merupakan para penguasa yang juga nabi. Masing-masing dari
mereka telah dianugerahi hukm dan ‘ilm. Dari sini kita
memahami bahwa bekal mereka ialah kedua hal tersebut. Apakahhukm dan ‘ilm itu ?
Hukm berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat
segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara
sederhana hukm biasa diartikan sebagai pemutusan
perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukm pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf
merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti
bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara
cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk
ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukm sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang
tersebut juga memiliki bekal al-‘ilmsebagai kriteria
pertama (al-‘ilm).
Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada
dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada
dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang
menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua
kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika
kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut,
niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi
diatas. Wallahu a’lamu bish shawaab.